Breaking News
Loading...
Sunday, October 11, 2009

Info Post
buat pendengarnya, musik hampir selalu merupakan solusi batin: ia bisa menjadi rekreasi, pelipur lara, dan apa pun yang membuat lega dan menyenangkan. musik yang hiruk-pikuk dan menggelegar sekalipun bisa menjadi katarsis –saluran untuk melepaskan diri dari kegelisahan dan ketegangan emosi. pendeknya, meminjam kata-kata berthold auerbach, penyair dan pengarang jerman, musik sanggup “mengusap debu kehidupan sehari-hari di dalam jiwa”.

tetapi, lebih dari itu, musik sebenarnya juga berpotensi menjadi semacam wahana yang sanggup mengelevasikan pendengarnya ke wilayah relaksasi dan inspirasi, bahkan pengalaman spiritual. keyakinan terhadap hal inilah yang menjadi fondasi bagi kategori musik yang kemudian disebut sebagai new age music.

kategori itu sama sekali tak bersifat ketat. mereka yang biasa mendengarkan dan mengikuti perkembangannya pasti tahu bahwa musik yang bisa masuk di dalamnya mungkin saja berasal dari berbagai aliran; bekakangan kategori itu bahkan bercabang-cabang meliputi pula paduan suara “spiritual” atau berbahasa kuno seperti sanskrit, latin, dan yahudi. tapi elemen yang mengikat semua aliran itu hanya ada satu: perasaan yang ditimbulkannya terhadap pendengarnya.

jika dibedah anatomi musiknya, perasaan itu timbul berkat harmoni yang pada lazimnya bersifat modal (bukan progresi akor seperti pada umumnya lagu), konsonan (bukan dissonan yang cenderung menimbulkan stres), dan bas yang cenderung berulang-ulang. selain itu, juga ada repetisi melodi yang bisa menimbulkan perasaan terhipnotis. durasi lagu bisa mencapai lebih dari 20 menit.

musik new age sebenarnya bermula dari akhir 1960-an, masa-masa ketika hasrat untuk bereksperimen begitu riuh di kalangan musisi. kita tahu, dari periode itulah lahir album-album yang, karena sifat terobosannya, kemudian menjadi all-time greatest –di antaranya sgt. pepper’s lonely hearts club band (the beatles), the piper at the gates of dawn (pink floyd), axis: bold as love (the jimi hendrix experience), in the court of the crimson king (king crimson). sebagian musisi bahkan mencoba membuat musik untuk mengasah kesadaran.

di antara mereka yang pada masa itu bereksperimen dengan bunyi dan tekstur, yang hasilnya memancarkan atmosfer rileks, adalah edgar froese dan klaus schulze. kedua musisi jerman ini pernah sama-sama bergabung dalam tangerine dream, band yang didirikan oleh froese pada 1967 dan kemudian kerap diasosiakan dengan musik new age. mereka terampil memanfaatkan synthesizer seraya memadukannya dengan instrumen akustik dan elektrik. disebut musik kosmis, karya mereka menjadi benih lahirnya musik ambient dan new age.

sejumlah nama lain mengikuti jejak mereka, tapi yang segera sulit dilupakan adalah mike oldfield. pada 1973, tahun yang dianggap sebagai periode paling dahsyat dalam sejarah musik rock saking banyaknya album bagus yang dirilis, oldfield hanyalah musisi yang kebetulan sempat berkolaborasi dengan musisi yang lain yang sudah punya nama (misalnya kevin ayers, mantan basis dan vokalis soft machine, serta kakaknya, sally oldfield). tapi dia punya demo yang setelah ditolak di sana-sini, dengan alasan tak bakal bisa dijual, diterima oleh richard branson, jutawan yang baru saja mendirikan virgin records.

demo berupa instrumental dalam dua bagian (movement) yang masing-masing berdurasi 25 menit dan 23 menit itu memang tak lazim di masanya. instrumental, dengan alat-alat musik yang tergolong jarang digunakan dalam formasi band modern, dan –tentu saja –tanpa lirik. untuk yang terakhir ini, ketika diminta membubuhkan lirik, oldfield berkata, “kalian mau lirik? kuberi kalian lirik!” dia menenggak sebotol wiski dan meminta engineer yang bertugas untuk membawanya ke studio, lalu dia berteriak sekencang-kencangnya selama sepuluh menit.

direkam pada akhir 1972 dan dirilis sebagai album pada mei 1973 dengan judul tubular bells, oldfield dengan karyanya itu secara tak langsung mengukuhkan fondasi kategori yang kemudian disebut new age (seraya pada saat yang sama dia menahbiskan keberadaan virgin records). dia memadukan aneka instrumen (yang semuanya dia mainkan sendiri) untuk membangun beragam irama, tone, kunci nada, dan harmoni, yang semuanya saling melebur mulus dan menghasilkan musik yang berlimpah-limpah nan menakjubkan –dan tentu melegakan.

pada awal 1980-an, istilah “musik new age” mulai diperkenalkan secara luas kepada publik oleh stasiun radio. toko musik dan perusahaan rekaman lalu ikut terjun ke dalam arus: mereka mencomotnya sebagai label untuk berbagai jenis musik instrumental yang non-mainstream (tapi istilah lain juga dipakai, misalnya contemporary instrumental).

kecenderungan dalam strategi pemasaran dan distribusi itu memang bisa mengecoh. tapi, bagaimanapun, ia sulit juga dielakkan. sebab, ya, itu tadi: wilayah cakupan asal-muasal dan cabang-cabang musik new age yang begitu luas. kini kita bisa saja mengelompokkan album-album enya, vangelis, kitaro, atau yanni, misalnya, ke dalam kategori new age, bergabung dengan deuter, stephen halpern, atau aeoliah. tak terlalu salah, mengingat mereka –yang sama sekali tak pernah mendeklarasikan diri sebagai musisi new age –punya karya yang sulit untuk dibantah watak new age-nya. coba simak full moon story karya kitaro, shepherd moons milik enya, atau in celebration of life-nya yanni.

bagi mereka yang tak terlalu peduli dengan penerapan syarat yang ketat untuk bisa masuk kategori itu, pastilah yang penting adalah apa yang ditimbulkan terhadap perasaannya. lebih dari sekadar rekreasi, atau hiburan, musik itu mestilah menimbulkan atmosfer damai: dari situ bisa terbit inspirasi, relaksasi, meditasi, dan bahkan pengalaman spiritual.

0 komentar: